Monday, September 28, 2015

Tertawa Adalah Hobinya



Hobinya adalah tertawa. Tawanya lepas, nyaris tanpa beban. Setiap pagi ia selalu bersemangat untuk sekolah. Sekolah selalu menjadi tempat menyenangkan dan membuatnya lupa dari kesedihan. Aku mengaguminya sebagai teman. Aku mengenalnya baru tiga bulan yang lalu. Sejak saat itu, hidupku tak lagi kesepian. Ia selalu mengajakku kemanapun ia pergi.

Suatu malam, aku mendengar suara isakan. Sebuah isakan yang tertahan. Awalnya, aku takut karena ini adalah malam jumat kliwon. Kemudian aku teringat kata-kata Om Kale, bahwa malam jumat kliwon adalah waktu yang paling menyeramkan. Aku tak pernah bertanya kenapa bisa menyeramkan, karena aku terlalu penakut.

Aku memberanikan diri mengintip dari dalam laci meja biru langit di sebrang tempat tidur. Ternyata temanku yang hobinya tertawa dengan tawanya yang lepas dan nyaris tanpa beban itulah yang sedang terisak tertahan di atas tempat tidur. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya karena tubuhnya sempurna tertutup selimut. Hanya tubuhnya yang terguncang dan suara isaknyalah yang menandakan bahwa temanku sedang tidak baik-baik saja.

Sepuluh menit berlalu, aku masih menatapnya dengan tanda tanya. Menunggu sampai ia membuka selimut itu. Namun, sampai jarum pendek pada jam weaker di sebelah tempat tidur memeluk angka empat pun, ia masih menutup dirinya. Akupun kembali tertidur karena tak bisa menahan kantuk.

Ketika aku bangun dari tidurku, aku melihat matanya yang sembab. Karena dia selalu menggunakan kacamata, jadi dia bisa menutupi kesembaban matanya tersebut. Pagi itu, keceriaannya telah kembali. Ia kembali mengembangkan tawanya yang lepas dan nyaris tanpa beban. Lalu, aku bertanya-tanya. Sebenarnya apakah yang terjadi pada dirinya semalam? Apakah ia hanya bermimpi buruk? Atau ia memiliki sebuah masalah yang sungguh berat? Tapi, kenapa ia tidak bercerita pada ibunya? Kebanyakan anak akan cerita pada ibunya ketika ia sedang dalam masalah. Terlepas dari masalah kecil atau besar.

Kita tidak pernah bisa mengetahui isi hati seseorang. Apa yang mereka tunjukkan pada dunia, bukan berarti itulah yang ia rasakan sebenarnya. Masih banyak sekali misteri yang belum terkuak. Memang benar adanya, tak perlulah kau mengumbar semua yang kau rasakan pada dunia. Toh, dunia tak pernah benar-benar memedulikanmu, dunia tetap tak acuh padamu. Sesuatu yang pasti terjadi adalah, ada alasan di balik semua yang dirasakan seseorang. Ya, selalu ada. Pasti. Namun, sampai detik ini aku tak pernah mengetahui alasan pasti ia menangis kenapa, dan bagaimana perasaan gadis yang tawanya lepas dan nyaris tanpa beban itu sebenarnya.





Aku Menulis Karena Kau Ada

Wajah yang sama, tubuh yang sama, tapi langkah kaki yang berbeda. Ketika aku berjalan ke kanan, mengapa kau mengambil jalan ke kiri? Tak bisakah kau berbalik dan menyusulku di jalan sebelah kanan? Asal tempat kita sama, lantas mengapa tujuan kita berbeda? Saat kita di jalan yang sama, genggaman tanganmu begitu erat. Hangat. Tanganmu selalu hangat sehingga pori-porimu terlalu sensitif ketika bersapa dengan dinginnya udara. Bahkan kukumu akan berwarna biru lebam saking dinginnya. Masihkah kau ingat ketika kita selalu menyamakan langkah bahkan irama kaki kita?

Meskipun kini jalan kita berbeda, tapi ketahuilah satu hal. Jejak itu masih ada karena sejarah telah mencatatnya. Kamu takkan bisa menghapusnya. Takkan pernah bisa. Aku telah menghilangkan penghapusnya. Kemanapun kau cari penghapus itu, kau takkan menemukannya.

Kini aku sadar, selama kita masih bisa menatap langit yang sama, aku tak khawatir. Karena ketika kulihat langit tampak tersenyum, disitulah aku menemukanmu. Wajahmu yang kukenal sejak tujuh tahun silam, tergambar samar di atas sana. Tapi tetap saja, selalu dalam suasana bersahabat. Apa yang kau katakana kepada sang langit di sana? Apakah kalian bersekongkol agar aku bahagia di sini? Tak bisakah muncul sebentar sekedar untuk menyapa kabarku?

Waah, langkah kita terlampau jauh. “Langit, apa yang sekarang sedang dilakukannya? Apakah ia dalam keadaan baik-baik saja?”

“Jangan cemas, aku telah mengirimkan pelangi kepadanya. Ia tersenyum ketika melihat pelangi bersamanya. Bahkan ia tampak sangat bahagia.” Langit berkata lewat angin sore.

“Bersamanya? Siapa?”

Langit tak menjawabnya lagi, itu sudah cukup membuatku penasaran setengah mati. Langit menurunkan tetes air. Sepertinya ia merasa bersalah dan menghilang dibalik awan hitam. Seperti sebuah kaset yang berputar kalimat itu selalu terngiang. “Sayang, cinta, banget, sama kamu.” Ucapanmu saat itu terpatah-patah saking susahnya untuk mengungkapkannya. Dulu, sesulit itukah kau mengucapkannya? Aku hanya berpikir, apakah saat itu bermakna terlalu sayang atau tidak percaya diri.

Kini, langkah tak dapat mempertemukan kita. Mata tak mungkin dapat memperlihatkan kesamaan lagi. Maka aku menulis ini agar kau membacanya. Aku takkan pernah berhenti menulis, selama kau masih ada di sana. Langit sudah tak dapat dipercaya sebagai mata-mata. Maka aku menggunakan tulisan sebagai sahabat baikku. Aku menulis karena kau ada.