Aku tidak sedang bermain petak umpet, bahkan aku enggan sekali bermain petak umpet. Aku memang sedang mencarinya, sedari dulu. Aku telah mencarinya di kolong meja di sekolah, di kamar mandi, di kantor guru, bahkan di lemari pakaianku. Ia tidak ada dimana pun. Aku mulai lelah mencari dan bertanya pada orang-orang. Aku juga sudah bertanya pada Tuhan, tapi Tuhan belum menjawabnya. Kata seseorang yang kukenal, Tuhan selalu menjawab doa baik umat-Nya. Apakah doaku tidak terlalu baik? Katanya juga Tuhan selalu menjawab dengan cara lain. Apakah aku harus bersabar lagi?
Sabar. Aku menghela nafas panjang sekali ketika mendengar kata itu. Sudah lama pula aku bersabar. Namun, kata seseorang yang kukenal juga, bahwa sabar itu bukan tentang seberapa lama menunggu, bukan seberapa sering menghela nafas, tetapi tentang kepercayaan pada Tuhan bahwa semua kebaikan pasti akan terjadi. Lantas apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku harus menemukannya sekarang. Itulah cara agar aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku.
Orang tua. Satu frasa, yang selalu membuatku tak kuasa membendung bulir-bulir dari mataku. Bila aku mengingat beliau berdua, aku merasa bahwa aku bukanlah anak yang baik. Selama ini aku hanya bisa menyusahkan tanpa pernah bisa membahagiakan. Aku selalu meminta tanpa pernah memberi, meskipun aku tahu mereka melakukan semuanya dengan keikhlasan. Izinkan aku membahagiakan mereka, Tuhan.
Hey kamu, tolonglah jangan bersembunyi lagi. Meksipun aku belum sekalipun bertemu denganmu, tapi tolonglah tunjukkan wujudmu. Aku harus segera menemukanmu, mendekapmu, dan membahagiakan orang tuaku. Sesegara mungkin. Aku harus merancang semuanya, aku harus mempersiapkan apa yang kubutuhkan kelak. Maka, segeralah muncul di hadapanku.
That’s me,
The Dreamer without a dream
