Monday, December 19, 2016

KKM = KRITERIA KETUNTASAN MANIPULASI

Standar Penilaian Pendidikan adalah kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik yang digunakan sebagai dasar dalam penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik (Permendikbud, 2016). 

Dalam proses belajar mengajar di sekolah, evaluasi selalu dilakukan agar guru dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan peserta didiknya. Evaluasi dilakukan mulai dari yang kecil seperti latihan setelah materi disampaikan, ulangan setelah satu bab selesai, UTS setelah beberapa bab selesai, dan UAS/PAS setelah pembelajaran satu semester selesai. Banyak sekali macamnya, banyak pula nilai yang dikumpulkan siswa. 

Siswa melakukan evaluasi seperti itu bukan semata-mata demi nilai, bukan. Siswa sepatutnya menyadari bahwa hal demikian dilakukan demi proses. Proses yang dari awalnya tidak bisa menjadi bisa, yang awalnya tidak paham menjadi paham, dan yang tadinya tidak mampu menjadi mampu. Begitulah hakikat belajar. 

Kenapa siswa masih terpatok dengan nilai dan bukan proses? 
Hal tersebut disebabkan karena adanya KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang telah ditetapkan oleh setiap guru mata pelajaran dan memiliki nilai yang berbeda dengan sekolah lainnya. Siswa berlomba-lomba agar mendapatkan nilai tinggi dengan menghalalkan segala cara. 

Apa fungsi KKM? 
KKM merupakan sebuah indikator keberhasilan siswa dalam bentuk angka. ANGKA lho ya, bukan sikap. Jadi, kalau siswa mendapat nilai tinggi dengan segala cara berarti dia lolos, dia aman. Kalau siswa mendapat nilai kecil tapi jujur, dia tidak aman. Bayangkan, betapa kejamnya sebuah sistem. 

Apa dampak KKM? 
KKM memiliki dampak positif dan negatif bagi siswa. Positifnya siswa menjadi lebih termotivasi dalam belajar, ia akan berusaha agar nilainya tidak berada di bawah ambang batas. Namun, ketika ada siswa (yang notabene biasa saja) frustasi dengan KKM yang terlalu tinggi, ia akan merasa tertekan dan mengambil jalan pintas. Itu salah satu dampak negatif dari KKM. Betapa kejamnya sebuah sistem dapat membuat seorang siswa menjadi tak berkarakter jujur. 

Selain siswa, KKM juga akan berdampak pada guru. Guru yang bijak, pasti akan menilai siswa secara jujur, sesuai dengan pencapaian siswa, tidak ada pemalsuan. Namun, guru bijak dan idealis dewasa kini selalu terkalahkan dengan realita. Akhirnya, guru pun harus mengatrol nilai siswa. Ah, bahasa kasarnya itu memalsukan nilai. Wuiiih sekali lagi, betapa kejamnya sistem sehingga membuat pahlawan (yang katanya) tanpa tanda jasa harus melakukan manipulasi nilai. Padahal nilai itu akan digunakan oleh siswa untuk sekolah di jenjang berikutnya. Nilai itu akan tercatat selalu di raportnya sampai siswa itu dewasa, bahkan menjadi almarhum. 

Salahkah siswa? Salahkah guru? Sepertinya masalah tidak terletak pada sumber daya manusia, namun pada sistem. Setiap sekolah memiliki KKM sekolahnya masing-masing. Beberapa sekolah bahkan melarang guru untuk memberi nilai di bawah KKM sekolah. Jujur saja situasi semacam ini adalah situasi paling dilematis bagi guru. Apakah situasi tersebut juga berlaku apabila siswa memiliki tingkat keabsenan yang tinggi? Siswa yang sering absen dari kelas, tentu saja tidak mengikuti proses pembelajaran. Logikanya, apabila ia tidak mengikuti pembelajaran, darimana nilai raport diambil? Apakah turun dari langit? Diantar oleh Neptunus dari laut? Memang ada nilai UTS atau UAS/PAS. Namun, tentu saja nilai raport juga membutuhkan nilai proses di kelas. 

Pemerolehan nilai itu sudah ada prinsipnya tersendiri. Berdasarkan PERMENDIKBUD Nomor 23 tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, bahwa penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 
  1. sahih, berarti Penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur. 
  2. objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai. 
  3. adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku,budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender. 
  4. terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. 
  5. terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan. 
  6. menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik Penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik. 
  7. sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku. 
  8. beracuan kriteria, berarti Penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan. 
  9. akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya. 
Apabila melihat prinsip penilaian di atas, sudah sepatutnya bahwa guru dapat objektif dalam menilai. Selain itu, siswa sudah seharusnya menyadari bahwa proses itu penting. 

Hal dilematis lainnya yang terjadi pada guru adalah setiap guru tentu ingin melihat siswanya senang dengan nilai yang baik. Bukankah keberhasilan siswa juga merupakan keberhasilan bagi guru? Bukankah membuat siswa sekolah di tempat yang bagus lalu dia menjadi berhasil karena nilai raport tersebut juga merupakan hasil dari proses guru memalsukan nilai tersebut? Namun, haruskah guru senang karena hasil yang palsu? Itu hanya kebahagiaan semu, kebahagiaan yang dibuat seolah-olah guru berhasil mendidik. 

Guru adalah pendidik, bukan sekadar mengajar. Pendidik itu mendidik, dengan kata lain bahwa guru sudah sepatutnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Kejujuran dan rasa sportivitas misalnya. Sudahkah guru melakukan hal demikian? Belum. 

Apa solusinya? 
Perbaiki sistem yang ada. Silakan saja KKM tetap berlaku, toh itu penting untuk indikator keberhasilan belajar secara kuantitas. Namun, jujurlah dalam memberikan nilai. Apabila ada siswa yang memang jauh dari harapan, biarkan dia berpikir. Berikan kesempatan agar siswa tersebut menyesal dan belajar lebih giat lagi di proses selanjutnya. 

Bukankah hakikat belajar memang begitu? Orang naik sepeda saja biasanya tidak akan disebut berhasil apabila belum terjatuh. Berarti, mengalami kegagalan dalam belajar itu wajar. Namun bukan berarti kita harus gagal dulu baru berhasil. Tidak, tentu saja situasi semacam ini hanya berlaku pada siswa tertentu saja. 

Ingat selalu ini! 


-Guru (cantik) yang belum pantas digugu dan ditiru- 

No comments:

Post a Comment