Wednesday, October 14, 2015

LELAKI YANG TERLAMBAT




Semua berawal dari sebuah perkemahan satu malam di tepi pantai. Sifatmu yang memang mudah akrab dengan orang lain, membuatku merasa lebih nyaman. Kita menikmati sunrise yang sama, di tempat yang sama, dengan angin yang selalu saja membelai wajah. Pagi itu, aku sadar bahwa kamu tidak merasa risih dengan sikap kekanak-kanakanku dan teman-temanku. Tapi, aku masih biasa saja. Tidak ada perasaan lebih. Hanya lebih peka saja dengan lingkungan dan keadaan. Aku memang begitu.

Selepas acara perkemahan itu, secara intensif ada yang secara terbuka memberikan perhatiannya. Aku paham betul gerak-gerikmu, kamu sedang mencoba menarik perhatianku. Perasaanku masih biasa saja, tidak lebih dari sekedar menganggapmu sebagai teman.

Beberapa minggu kemudian, aku sadar perhatianku mulai teralih padamu. Akhirnya kusampaikan pada temanku tentang kamu. Aku memberanikan diri untuk membagi ceritaku padanya. Ia antusias, karena senang aku sudah bisa membuka hati untuk orang lain. Meski pada kenyataannya, aku belum sepenuhnya siap. Bukan berarti yang dulu masih ada, bukan, aku hanya belum siap menerima sakit. Bukankah jatuh cinta adalah patah hati yang tertunda?

Ketika acara wisudaku, kamu tidak bisa hadir karena memang sedang bentrok dengan pekerjaanmu. Pekerjaanmu memang menuntut kamu untuk selalu fit dan siap untuk pergi ke pulau-pulau di Indonesia. Mengasyikan sekali, begitu selalu komentarku ketika kamu sepulang dari kepergianmu. Kamu tidak menitipkan bunga, atau apapun, aku memang tidak terlalu mengharapkannya. Terlalu berharap adalah bibit dari rasa kecewa.

Akhirnya, aku kembali ke kampung halaman, aku memutuskan untuk mengajar di sekolah tempatku dulu bersekolah. Aku meninggalkan Jogja dan segala kenangan yang telah kuukir di sana. Hari-hari di sekolah terasa berat, namun kamu selalu menyemangatiku, membuatku merasakan lebih baik. Kamu mulai menghantui sudut pikiranku, membuatku untuk mempertimbangkanmu sebagai masa depanku, meski ada keraguan di sana.

Suatu hari, aku mendengar kabar dari seorang temanku, bahwa kamu sedang dekat seseorang, jauh sebelum kamu mengenalku. Bahkan kalian sudah sepakat untuk ke jenjang yang lebih serius. Aku terdiam. Aku sebisa mungkin mencoba berpikir jernih, mengendalikan perasaan yang mulai berkecamuk tak menentu. APA YANG KAMU LAKUKAN PADAKU? Kenapa kamu datang seolah dengan tangan kosong namun ternyata ada tangan lain yang sedang kau genggam di belakangku? Apakah aku pantas marah?

Setelah kabar itu, aku menghapus perasaanku padamu yang baru sebesar embrio. Lebih baik menggugurkannya sekarang daripada harus menikmati sakit lebih dalam. Baiklah, aku terkena Pemberi Harapan Palsu. Maaf, sejak mendengar kabar itu, aku tak sedikit pun ingin respek kepadamu. Aku tak perlu konfirmasi untuk penjelasan, karena penjelasan temanku sudah cukup karena ia hanya menyampaikan apa yang kamu sampaikan padanya.

Beberapa bulan kemudian, sebelah hatiku sudah terisi dengan sepotong hati yang baru. Ia yang selalu mewarnai hari-hariku meski kadang menjengkelkan. Namun, bukankah hidup selalu seperti itu? Selalu ada hitam dalam warna putih? Aku dan lelaki itu sudah merencanakan sedemikian rupa masa depan kami. Ia lelaki penyabar dan mau menurunkan egonya demi aku.

Manusia selalu menginginkan kehidupan tenang dan adem ayem. Namun, Tuhan selalu memiliki jawaban lain. Kamu tiba-tiba saja datang ke kehidupanku lagi. Maaf, rasaku masih sama dengan terakhir kali kita berkomunikasi. Rasa sakitnya belum hilang, meski aku tidak sedikit pun membencimu. Temanku bercerita, bahwa calonmu yang kemarin sudah menikah dua bulan yang lalu dengan lelaki pilihan ibunya, bukan kamu. Kalian tidak berjodoh karena adat dan jarak yang berbeda.

Aku sama sekali tak peduli sampai temanku mengatakan bahwa kamu mulai menjadikanku pilihan paling utama dan satu-satunya. Terlambat, mas. Aku sudah memutuskan untuk terus berjalan bergandengan tangan dengan lelaki hitam manis yang mengalihkan duniaku dengan senyumnya.

Maaf, aku bukan ban serep atau “plan B” yang siap dijalankan setelah gagal dengan “plan A”. Seharusnya kamu bisa lebih tegas dengan hidupmu. Seharusnya kamu berpikir jauh lebih panjang lagi sebelum bertindak. Jangan terlalu terburu-buru, karena denganku pun semuanya tidak bisa terburu-buru.


No comments:

Post a Comment