Saturday, November 7, 2015

MENULIS PETUNJUK MELAKUKAN SESUATU

Hari jumat (06/11/15), materi yang saya ajarkan kepada anak-anak kelas 8 hari itu adalah menulis petunjuk melakukan sesuatu (KD 4.3). Saya mengajar di dua sekolah, saya selalu memperlakukan hal yang sama pada keduanya. Namun, untuk saat ini saya membedakan mereka. Awalnya memang bukan sebuah kesengajaan. Semua berawal ketika sebelum berangkat ke sekolah, saya berpikir untuk menjadikan pelajaran ini tidak membosankan lagi. Akhirnya saya memilih untuk membuat petunjuk secara berantai, seperti apa yang pernah saya lakukan pada pelajaran puisi semester lalu.

Pelajaran pertama, saya masuk ke kelas VIII-8. Setelah saya selesai menyampaikan materi, mereka sangat antusias ketika saya mengatakan bahwa latihannya kali itu adalah bekerja sama, tidak individu. Saya mengatakan bahwa latihan ini seperti games, kalian bersaing dengan kelompok yang lain dan saya yang akan menentukan mereka harus membuat petunjuk melakukan apa.

Beberapa dari mereka bertanya, “kita gak praktik bu?” Lalu saya menjawab, “materinya adalah menulis, jadi kita tidak akan praktik membuat sesuatu itu. Soal rasa tidak penting, yang penting itu bahasa dan ejaan kalian yang masih berantakan.”. Iya, beberapa kali saya mengoreksi buku tugas mereka, saya masih sering juga menjumpai ejaan yang berantakan.

Kelompok 1 saya tugasnya menulis petunjuk membuat mie instan, kelompok 2 telur ceplok, kelompok 3 jus buah, dan kelompok 4 agar. Peraturan permainannya adalah mereka maju berbaris di depan areanya masing-masing, karena kebetulan ada dua papan tulis, jadi saya bagi menjadi empat area. Mereka patungan membuat petunjuk dengan menuliskannya di papan tulis. Satu orang mendapatkan jatah 30 detik untuk menulis (entah satu kalimat atau lebih, yang penting 30 detik) dan akan dilanjutkan temannya setelah waktunya habis, begitu saja sampai selesai (3,5 menit).

Saat itu, karena saya menyuruh mereka maju semua ke depan, akhirnya keadaan menjadi crowded dan suaranya tidak terdengar. Saya harus berteriak sekencang mungkin ketika 30 detik telah selesai. Dalam hati saya berkata, “oke fine, evaluasi untuk saya adalah untuk tidak menyuruh siswa maju ke depan kelas secara bersamaan.” Evaluasi lainnya adalah, saya seharusnya memberikan waktu lebih lama pada mereka, yakni 5 menit. 

Beginilah hasil siswa.

Sunday, October 25, 2015

KITA PASANGAN DENGAN KETERBATASAN


Aku tidak pernah mengetahui bahwa selama ini ada seseorang yang memerhatikanku dalam diamnya. Bukan karena aku tidak peka, namun keberadaanmu jauh dalam jangkauanku, tapi kamu selalu bisa menjangkauku. Kamu misterius, termasuk perhatianmu yang diam-diam. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, karena memang tidak pernah ada gerakan berarti yang kamu tunjukkan di depanku. Apakah sikapmu selalu seperti itu? Sejak kapan? Aku penasaran.

Ketika aku mengeluh bahwa aku sedang tidak fit, kamu meminta orang lain untuk memijit. Ketika aku tahu kamu belum makan, aku meminta orang lain untuk mengantarkan makanan untukmu. Ketika kamu tahu bahwa fisikku tak sekuat orang lain, kamu membuntutiku untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Ketika aku tahu bahwa mood kamu sedang tidak baik, aku meminta orang lain untuk tidak mengganggumu, karena aku tahu bahwa kamu sedang butuh sendiri.

Perhatianmu tidak salah, kamu hanya bingung harus melakukan apa untuk menunjukkannya kepadaku karena kita memang pasangan dengan keterbatasan. Keterbatasan itulah yang menjadi sekat. Namun, sekat itulah yang harus menjadikan kita pasangan yang kuat.

Meski demikian, jauh dalam lubuh hatiku, aku lemah. Ingin sekali aku mengeluhkan banyak hal. Aku ingin bertukar pikiran dengan saling menatap, ya berkomunikasi bukan hanya dari hati, namun tatapan. Aku ingin memegang erat pinggangmu ketika kita sedang mengendarai motor, aku takut jatuh karena aku selalu mengantuk dalam perjalanan jarak jauh. Aku ingin menyandarkan kepala di bahumu agar kamu tahu bahwa aku lelah. Aku ingin selalu melihat senyummu dan membalasnya dengan senyumku, lalu kita saling bertatap dengan senyuman. Aku ingin memelukmu ketika kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku ingin memegang tanganmu ketika kamu panik. Dan aku ingin kamu selalu ada di sampingku.

Namun, apalah daya kita, untuk sekedar menyentuh tanganmu saja aku tak mampu. Aku takut bila aku memegangnya, aku takkan pernah melepaskannya. Kita adalah pasangan dengan keterbatasan. Kita tidak bisa begitu saja melakukan apa yang kita mau karena belum ada akad yang menyatukan kita. Kita hanya bisa bersabar dan bersabar. Jangan lemah, jangan kalah, dan jangan menyerah. Perang dengan keterbatasan belum usai.

Wednesday, October 14, 2015

LELAKI YANG TERLAMBAT




Semua berawal dari sebuah perkemahan satu malam di tepi pantai. Sifatmu yang memang mudah akrab dengan orang lain, membuatku merasa lebih nyaman. Kita menikmati sunrise yang sama, di tempat yang sama, dengan angin yang selalu saja membelai wajah. Pagi itu, aku sadar bahwa kamu tidak merasa risih dengan sikap kekanak-kanakanku dan teman-temanku. Tapi, aku masih biasa saja. Tidak ada perasaan lebih. Hanya lebih peka saja dengan lingkungan dan keadaan. Aku memang begitu.

Selepas acara perkemahan itu, secara intensif ada yang secara terbuka memberikan perhatiannya. Aku paham betul gerak-gerikmu, kamu sedang mencoba menarik perhatianku. Perasaanku masih biasa saja, tidak lebih dari sekedar menganggapmu sebagai teman.

Beberapa minggu kemudian, aku sadar perhatianku mulai teralih padamu. Akhirnya kusampaikan pada temanku tentang kamu. Aku memberanikan diri untuk membagi ceritaku padanya. Ia antusias, karena senang aku sudah bisa membuka hati untuk orang lain. Meski pada kenyataannya, aku belum sepenuhnya siap. Bukan berarti yang dulu masih ada, bukan, aku hanya belum siap menerima sakit. Bukankah jatuh cinta adalah patah hati yang tertunda?

Ketika acara wisudaku, kamu tidak bisa hadir karena memang sedang bentrok dengan pekerjaanmu. Pekerjaanmu memang menuntut kamu untuk selalu fit dan siap untuk pergi ke pulau-pulau di Indonesia. Mengasyikan sekali, begitu selalu komentarku ketika kamu sepulang dari kepergianmu. Kamu tidak menitipkan bunga, atau apapun, aku memang tidak terlalu mengharapkannya. Terlalu berharap adalah bibit dari rasa kecewa.

Akhirnya, aku kembali ke kampung halaman, aku memutuskan untuk mengajar di sekolah tempatku dulu bersekolah. Aku meninggalkan Jogja dan segala kenangan yang telah kuukir di sana. Hari-hari di sekolah terasa berat, namun kamu selalu menyemangatiku, membuatku merasakan lebih baik. Kamu mulai menghantui sudut pikiranku, membuatku untuk mempertimbangkanmu sebagai masa depanku, meski ada keraguan di sana.

Suatu hari, aku mendengar kabar dari seorang temanku, bahwa kamu sedang dekat seseorang, jauh sebelum kamu mengenalku. Bahkan kalian sudah sepakat untuk ke jenjang yang lebih serius. Aku terdiam. Aku sebisa mungkin mencoba berpikir jernih, mengendalikan perasaan yang mulai berkecamuk tak menentu. APA YANG KAMU LAKUKAN PADAKU? Kenapa kamu datang seolah dengan tangan kosong namun ternyata ada tangan lain yang sedang kau genggam di belakangku? Apakah aku pantas marah?

Setelah kabar itu, aku menghapus perasaanku padamu yang baru sebesar embrio. Lebih baik menggugurkannya sekarang daripada harus menikmati sakit lebih dalam. Baiklah, aku terkena Pemberi Harapan Palsu. Maaf, sejak mendengar kabar itu, aku tak sedikit pun ingin respek kepadamu. Aku tak perlu konfirmasi untuk penjelasan, karena penjelasan temanku sudah cukup karena ia hanya menyampaikan apa yang kamu sampaikan padanya.

Beberapa bulan kemudian, sebelah hatiku sudah terisi dengan sepotong hati yang baru. Ia yang selalu mewarnai hari-hariku meski kadang menjengkelkan. Namun, bukankah hidup selalu seperti itu? Selalu ada hitam dalam warna putih? Aku dan lelaki itu sudah merencanakan sedemikian rupa masa depan kami. Ia lelaki penyabar dan mau menurunkan egonya demi aku.

Manusia selalu menginginkan kehidupan tenang dan adem ayem. Namun, Tuhan selalu memiliki jawaban lain. Kamu tiba-tiba saja datang ke kehidupanku lagi. Maaf, rasaku masih sama dengan terakhir kali kita berkomunikasi. Rasa sakitnya belum hilang, meski aku tidak sedikit pun membencimu. Temanku bercerita, bahwa calonmu yang kemarin sudah menikah dua bulan yang lalu dengan lelaki pilihan ibunya, bukan kamu. Kalian tidak berjodoh karena adat dan jarak yang berbeda.

Aku sama sekali tak peduli sampai temanku mengatakan bahwa kamu mulai menjadikanku pilihan paling utama dan satu-satunya. Terlambat, mas. Aku sudah memutuskan untuk terus berjalan bergandengan tangan dengan lelaki hitam manis yang mengalihkan duniaku dengan senyumnya.

Maaf, aku bukan ban serep atau “plan B” yang siap dijalankan setelah gagal dengan “plan A”. Seharusnya kamu bisa lebih tegas dengan hidupmu. Seharusnya kamu berpikir jauh lebih panjang lagi sebelum bertindak. Jangan terlalu terburu-buru, karena denganku pun semuanya tidak bisa terburu-buru.


Friday, October 9, 2015

Kebetulan Itu Tak Pernah Ada

Apakah segala sesuatu yang terjadi di dunia ini kebetulan semata? Saya dengan percaya diri menjawab: "Tidak ada yang namanya kebutulan di dunia ini". Ya, semuanya sudah diatur, sudah direncanakan. Sudah menjadi takdir dari Tuhan. Percayakah kalian pada takdir?
Menurut KBBI tak·dir (n) ketetapan Tuhan; ketentuan Tuhan; nasib:
Dewasa ini, manusia tidak terlepas dari pengaruh gadget dan media sosial. Pernahkah kalian memerhatikan status update, recent update, atau foto yang diupload dua orang yang tidak saling mengenal tapi saling berkaitan? Awalnya, saya mengumpulkan capture/screenshot untuk sekedar iseng. Namun, ternyata setelah saya lihat saya memiliki cukup banyak bukti tentang kemiripan-kemiripan itu.

Status whatsapp saya dan dua teman saya yang dibuat secara tidak sengaja dan dalam waktu yang berbeda

PM teman saya yang tidak saling mengenal

Hari kebalikan

SIBUK itu gak ada :D

Tanggal yang sama. Ciyeee ngikutin, ya?

Jatuh cinta :)

Balon warna-warni, banyak, tapi tidak saling kenal.

sticker SAHUR

Ketika komen status terlalu mainstream
Gambar-gambar di atas hanya 10 dari sekian milyar yang menurut kalian sebuah kebetulan, tapi takdir bagi saya. Bayangkan betapa hebatnya Kuasa Tuhan dalam mengatur semuanya. Bukan hanya satu atau dua orang, satu atua dua negera, tapi seluruh umat manusia takdirnya sudah ditentukan. Bukankah Tuhan Maha Kreatif dan Maha Baik.
So, semoga kalian lebih bisa menghargai hidup kalian dengan bersyukur. Keep optimist. :)

Monday, September 28, 2015

Tertawa Adalah Hobinya



Hobinya adalah tertawa. Tawanya lepas, nyaris tanpa beban. Setiap pagi ia selalu bersemangat untuk sekolah. Sekolah selalu menjadi tempat menyenangkan dan membuatnya lupa dari kesedihan. Aku mengaguminya sebagai teman. Aku mengenalnya baru tiga bulan yang lalu. Sejak saat itu, hidupku tak lagi kesepian. Ia selalu mengajakku kemanapun ia pergi.

Suatu malam, aku mendengar suara isakan. Sebuah isakan yang tertahan. Awalnya, aku takut karena ini adalah malam jumat kliwon. Kemudian aku teringat kata-kata Om Kale, bahwa malam jumat kliwon adalah waktu yang paling menyeramkan. Aku tak pernah bertanya kenapa bisa menyeramkan, karena aku terlalu penakut.

Aku memberanikan diri mengintip dari dalam laci meja biru langit di sebrang tempat tidur. Ternyata temanku yang hobinya tertawa dengan tawanya yang lepas dan nyaris tanpa beban itulah yang sedang terisak tertahan di atas tempat tidur. Aku tidak bisa membaca raut wajahnya karena tubuhnya sempurna tertutup selimut. Hanya tubuhnya yang terguncang dan suara isaknyalah yang menandakan bahwa temanku sedang tidak baik-baik saja.

Sepuluh menit berlalu, aku masih menatapnya dengan tanda tanya. Menunggu sampai ia membuka selimut itu. Namun, sampai jarum pendek pada jam weaker di sebelah tempat tidur memeluk angka empat pun, ia masih menutup dirinya. Akupun kembali tertidur karena tak bisa menahan kantuk.

Ketika aku bangun dari tidurku, aku melihat matanya yang sembab. Karena dia selalu menggunakan kacamata, jadi dia bisa menutupi kesembaban matanya tersebut. Pagi itu, keceriaannya telah kembali. Ia kembali mengembangkan tawanya yang lepas dan nyaris tanpa beban. Lalu, aku bertanya-tanya. Sebenarnya apakah yang terjadi pada dirinya semalam? Apakah ia hanya bermimpi buruk? Atau ia memiliki sebuah masalah yang sungguh berat? Tapi, kenapa ia tidak bercerita pada ibunya? Kebanyakan anak akan cerita pada ibunya ketika ia sedang dalam masalah. Terlepas dari masalah kecil atau besar.

Kita tidak pernah bisa mengetahui isi hati seseorang. Apa yang mereka tunjukkan pada dunia, bukan berarti itulah yang ia rasakan sebenarnya. Masih banyak sekali misteri yang belum terkuak. Memang benar adanya, tak perlulah kau mengumbar semua yang kau rasakan pada dunia. Toh, dunia tak pernah benar-benar memedulikanmu, dunia tetap tak acuh padamu. Sesuatu yang pasti terjadi adalah, ada alasan di balik semua yang dirasakan seseorang. Ya, selalu ada. Pasti. Namun, sampai detik ini aku tak pernah mengetahui alasan pasti ia menangis kenapa, dan bagaimana perasaan gadis yang tawanya lepas dan nyaris tanpa beban itu sebenarnya.





Aku Menulis Karena Kau Ada

Wajah yang sama, tubuh yang sama, tapi langkah kaki yang berbeda. Ketika aku berjalan ke kanan, mengapa kau mengambil jalan ke kiri? Tak bisakah kau berbalik dan menyusulku di jalan sebelah kanan? Asal tempat kita sama, lantas mengapa tujuan kita berbeda? Saat kita di jalan yang sama, genggaman tanganmu begitu erat. Hangat. Tanganmu selalu hangat sehingga pori-porimu terlalu sensitif ketika bersapa dengan dinginnya udara. Bahkan kukumu akan berwarna biru lebam saking dinginnya. Masihkah kau ingat ketika kita selalu menyamakan langkah bahkan irama kaki kita?

Meskipun kini jalan kita berbeda, tapi ketahuilah satu hal. Jejak itu masih ada karena sejarah telah mencatatnya. Kamu takkan bisa menghapusnya. Takkan pernah bisa. Aku telah menghilangkan penghapusnya. Kemanapun kau cari penghapus itu, kau takkan menemukannya.

Kini aku sadar, selama kita masih bisa menatap langit yang sama, aku tak khawatir. Karena ketika kulihat langit tampak tersenyum, disitulah aku menemukanmu. Wajahmu yang kukenal sejak tujuh tahun silam, tergambar samar di atas sana. Tapi tetap saja, selalu dalam suasana bersahabat. Apa yang kau katakana kepada sang langit di sana? Apakah kalian bersekongkol agar aku bahagia di sini? Tak bisakah muncul sebentar sekedar untuk menyapa kabarku?

Waah, langkah kita terlampau jauh. “Langit, apa yang sekarang sedang dilakukannya? Apakah ia dalam keadaan baik-baik saja?”

“Jangan cemas, aku telah mengirimkan pelangi kepadanya. Ia tersenyum ketika melihat pelangi bersamanya. Bahkan ia tampak sangat bahagia.” Langit berkata lewat angin sore.

“Bersamanya? Siapa?”

Langit tak menjawabnya lagi, itu sudah cukup membuatku penasaran setengah mati. Langit menurunkan tetes air. Sepertinya ia merasa bersalah dan menghilang dibalik awan hitam. Seperti sebuah kaset yang berputar kalimat itu selalu terngiang. “Sayang, cinta, banget, sama kamu.” Ucapanmu saat itu terpatah-patah saking susahnya untuk mengungkapkannya. Dulu, sesulit itukah kau mengucapkannya? Aku hanya berpikir, apakah saat itu bermakna terlalu sayang atau tidak percaya diri.

Kini, langkah tak dapat mempertemukan kita. Mata tak mungkin dapat memperlihatkan kesamaan lagi. Maka aku menulis ini agar kau membacanya. Aku takkan pernah berhenti menulis, selama kau masih ada di sana. Langit sudah tak dapat dipercaya sebagai mata-mata. Maka aku menggunakan tulisan sebagai sahabat baikku. Aku menulis karena kau ada.

Tuesday, August 18, 2015

Pada Sebuah Buku

Kutemukan sebuah buku
Tergelatak tak berdaya
di beranda rumahku
buku itu bersampul merah muda
Dengan judul besar: AKU
kubuka lembar demi lembar
Mengeja aksara demi aksara
Membaca berbagai metafor
Aku terdiam
Karena aku belum juga memahami
Apa isi dari buku itu?
Tentu saja sudah kuulangi lagi
Berulang kubaca dan tak kunjung
Kupahami jua
Pernah kubaca pada sebuah gelap
Dengan setitik cahaya dari lilin
Kumelihat ada sesuatu
Sebuah tulisan kecil bertinta samar
Ia berkata:
Tulislah kisahmu
Namun, apa yang harus kutulis?

Wednesday, July 8, 2015

Pernah Kubilang

Pernah kubilang, jeda itu untuk menanam rindu.
Kini kubilang, untuk apa menanam rindu jika tak bisa tertuai?
Pernah kubilang, jarak itu tidak jauh.
Kini kubilang, bukan jaraknya tapi jiwanya.
Pernah kubilang, esok kita kan bersua.
Kini kubilang, masihkah ada hari esok?
Pernah kubilang, senyummu indah.
Kini kubilang, aku kehilangan indah itu.
Pernah kubilang, waktu akan menumbuhkan.
Kini kubilang, waktu akan menikam.
Pernah kubilang, rindu itu untuk bumbu.
Kini kubilang, rindu itu pahit menyakitkan.
Pernah kubilang, kamu ada di sana.
Kini kubilang, benarkah kamu ada di sana?

RINDU dalam hujan

Hai penikmat hujan,
Berhentilah memukulku dengan kenyataan
Kuingin bermimpi barang sejenak lagi
Mulailah mencumbuku dengan kebohongan
Dengan begitu panjanglah mimpiku.
Hai penikmat rindu,
Kamu benar,
terkaanmu tentangku selalu saja benar
Menciptakan iringan jantung yang senada rintik hujan
dalam tempo menggebu.
Akan tetap tak acuhkah kau pada rindu
yang telah kubungkuskan ini?
Paling tidak, kau menitipkan salam rindu balasan pada hujan.
Lalu menyelipkan doa termanis dalam gravitasi rintiknya.
Agar aku tahu,Bahkan lebih dari sekedar tahu,
Aku merasakannya,
Rasa hujan dalam rindu yang menyejukkan,
darimu.